Laman

Sabtu, 25 September 2010

harry potter . bab 3 buku 7 !

Chapter 3
The Dursleys Departing
KEBERANGKATAN KELUARGA DURSLEY

Suara pintu dibanting hingga bergema sampai terdengar ke lantai atas, dan terdengar suara teriakan, “Hei! Boy!”

Sudah enam belas tahun ia terbiasa dipanggil seperti itu, sehingga Harry tahu siapa yang dipanggil. Tapi, ia tidak bergegas untuk menjawab. Ia masih tertegun melihat pecahan cermin, yang dalam beberapa detik yang lalu, ia berpikir telah melihat mata Dumbledore.
Hingga pamannya berteriak, ‘BOY!’ yang membuat Harry berdiri dan berjalan menuju pintu kamarnya perlahan. Ia berhenti sebentar dan memasukkan pecahan cermin itu ke
dalam ransel yang penuh dengan berbagai barang yang akan dibawanya. “Nikmati waktumu selagi bisa!” teriak Vernon Dursley saat melihat Harry muncul di
puncak tangga.

“Turun kemari. Aku ingin sebuah penjelasan!”Harry berjalan menuruni tangga, tangannya berada dalam saku celana jeansnya. Saat ia masuk ke ruang tamu, ia melihat keluarga Dursley sudah memakai pakaian bepergian mereka. Paman Vernon memakai jaket kulit rusanya, bibi Petuna memakai mantel berwarna salmonnya, dan Dudley, sepupu Harry yang besar, pirang, dan berotot, memakai jaket kulitnya.

“Ya?” tanya Harry.

“Duduk!” kata paman Vernon. Harry menaikkan alisnya. “Tolong!” tambah paman Vernon, sambil mengernyit, seakan kata yang ia ucapkan melukai tenggorokannya. Harry duduk. Sepertinya ia tahu apa yang akan terjadi. Pamannya mulai memutari ruangan, Bibi Petunia dan Dudley memperhatikannya dengan cemas. Akhirnya, dengan wajahnya yang besar dan ungu yang tengah berkonsentrasi, paman Vernon berhenti tepat di depan Harry dan ia mulai berbicara.

“Aku berubah pikiran,” katanya.

“Mengejutkan sekali,” kata Harry.

“Jangan sekali-kali kau…” Bibi Petunia memulai pembicaraan dengan suaranya yang melengking, tapi Vernon Dursley mengangkat tangannya, menyuruhnya diam. “Semua ini omong kosong,” kata paman Vernon sambil menatap Harry dengan matanya yang kecil. “Aku telah memutuskan untuk tidak mempercayainya. Kami akan tetap di sini dan tidak akan pergi ke mana-mana.”

Harry melihat pamannya dan merasakan campuran antara rasa jengkel dan kagum.

Vernon Dursley telah mengubah pikirannya setiap dua puluh empat jam selama empat minggu terakhir. Berkemas, membongkarnya, dan berkemas lagi tergantung suasana hatinya. Momen kesukaan Harry adalah saat paman Vernon, tidak menyadari bahwa Dudley memasukkan samsak tinju ke dalam tas, ia berusaha mengangkatnya tapi gagal dan membuatnya terjatuh bersamaan dengan rasa sakit dan sumpah serapahnya.

“Seperti yang kau katakan,” kata paman Vernon, melanjutkan kegiatan berjalan berputarnya, “kami, Petunia, Dudley, dan aku, sedang dalam bahaya. Yang disebabkan oleh… oleh…”

“Oleh ’kaumku’, kan?” kata Harry.

“Oh, aku tak percaya ini,” kata paman Vernon, yang berdiri di depan Harry lagi. “Aku terjaga semalaman memikirkan segalanya, dan menurutku kau berencana untuk mengambil alih rumah ini.”

“Rumah?” ulang Harry. “Rumah apa?”

“Rumah ini!” teriak paman Vernon, pembuluh darah di kepalanya mulai berdenyut. “Rumah kami! Rumah yang harganya terus meroket! Kau ingin kami pergi dan kau akan melakukan hocus pocus-mu dan tiba-tiba tanpa sepengetahuan kami, rumah ini sudah jadi atas namamu dan…”

“Apa kalian sudah gila?” tuntut Harry. “Rencana untuk mengambil alih rumah? Apa kalian sebodoh tampang kalian?”

“Berani-beraninya kau…” cicit Bibi Petunia, tapi lagi-lagi Vernon membuatnya diam.

“Apa kalian lupa,” kata Harry, “aku sudah punya, bapak baptisku memberikannya untukku. Jadi mengapa aku menginginkan rumah ini? Karena kenangannya yang indah?” Semua terdiam. Harry mengira pamannya kagum dengan argumennya.

“Katamu,” kata paman Vernon, mulai berjalan memutar lagi, “masalah Lord itu…”

“Voldemort,” kata Harry tak sabar, “dan kita sudah membahasnya ratusan kali. Dan ini bukan kataku, ini kenyataan, Dumbledore sudah mengatakannya pada kalian, juga Kingsley, dan Tuan Weasley…”

Vernon melengkungkan bahunya dengan marah, dan Harry menebak bahwa pamannya sedang mengingat-ingat kunjungan mendadak, saat liburan musim panas Harry, dua orang penyihir dewasa. Kedatangan Kingsley Shacklebolt dan Arthur Weasley ke depan pintu rumah keluarga Dursley membuatnya tidak senang. Harry tahu, kedatangan Tuan Weasley yang terakhir menyebabkan setengah dari ruang tamunya hancur, dan kedatangannya kembali tidak mungkin disambut hangat oleh paman Vernon.

“… Kingsley dan tuan Weasley juga sudah menjelaskannya padamu,” kata Harry tanpa penyesalan. “Saat aku berusia tujuh belas, mantra perlindungan yang menjagaku akan hilang dan tak lagi melindungi aku ataupun kalian. Anggota Orde yakin bahwa Voldemort akan menggunakanmu untuk menemukanku, atau mungkin bila dia menjadikanmu tawanan, aku akan datang dan mencoba untuk menyelamatkanmu.”

Mata paman Vernon dan Harry beradu. Harry yakin bahwa mereka memikirkan hal yang sama. Lalu paman Vernon melanjutkan langkahnya dan Harry berkata, “Kalian harus pergi untuk bersembunyi, dan anggota Orde ingin membantu. Kalian telah ditawari perlindungan terbaik.”

Paman Vernon tidak berkata apa-apa dan tetap berjalan. Di luar, matahari mulai turun menuju garis cakrawala. Tetangga sebelah telah selesai memangkas rumput halamannya.

“Aku kira kalian memiliki Kementrian Sihir?” tanya paman Vernon tiba-tiba.

“Memang ada,” kata Harry, terkejut.

“Kalau begitu, mengapa mereka tidak melindungi kami? Menurutku, sebagai korban yang tak bersalah, kami seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah!” Harry tertawa, ia tak bisa menahan dirinya sendiri. Pamannya mengharapkan adanya peraturan, walaupun dalam dunia yang ia benci.

“Kau dengar apa yang tuan Weasley dan Kingsley katakan,” Harry mengingatkan. “Kami pikir Kementriran telah disusupi.”

Paman Vernon berhenti di depan perapian dan menarik nafas dalam-dalam membuat kumis hitam besarnya bergerak-gerak, dan wajahnya tetap ungu karena berkonsentrasi. “Baiklah,” katanya, kini ia berdiri lagi di depan Harry. “Baiklah, karena segala alasan yang ada, kami menerima perlindungan itu. Tapi aku masih tidak mengerti mengapa kami tidak dilindungi oleh Kingsley?”

Harry tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak memutar matanya. Pertanyaan ini pun sudah ditanyakan berkali-kali. “Aku kan sudah katakan,” katanya dengan gigi terkatup, “Kingsley menjaga Perdana Menteri Mug… maksudku, Perdana Menteri kalian.”

“Benar sekali, dia yang terbaik!” kata paman Vernon, menunjuk layar TV yang kosong. Dursley menyadari keberadaan Kingsley di berita TV, berjalan di belakang Perdana Menteri Muggle saat melakukan kunjungan ke rumah sakit. Dan fakta bahwa Kingsley mahir berpakaian seperti Muggle, tidak termasuk suaranya yang pelan, dalam, dan mampu meyakinkan keluarga Dursley, menyebabkan keluarga Dursley tidak ingin diurus oleh penyihir lain, walaupun mereka belum pernah melihat Kingsley saat ia memakai antingnya.“Yah, dia sudah menjaga yang lain.” Kata Harry. “Tapi Hestia Jones dan Dedalus Diggle mampu menjaga kalian…”

“Walau kami sudah pernah lihat CVnya…” mulai paman Vernon, tapi Harry kehilangan kesabaran. Ia berdiri, menantang pamannya, dan menunjuk layar TV.

“Kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa – tabrakan, ledakan, hal-hal aneh, atau apapun yang terjadi yang kita lihat di TV. Banyak orang hilang dan meninggal, dan dia ada di belakang semua ini – Voldemort. Aku telah mengatakan hal ini padamu berulang kali, dia membunuh Muggle hanya untuk bersenang-senang. Bahkan beberapa di antaranya disebabkan oleh Dementor, dan bila kau tidak ingat apa itu, tanyakan pada anakmu!”

Dudley tersentak, tangannya menutupi mulutnya. Seluruh mata di ruangan itu tertuju padanya, perlahan ia menurunkan tangannya dan bertanya, “Apa mereka… ada begitu banyak?”

“Banyak?” Harry tertawa. “Lebih dari dua yang menyerang kita, maksudmu? Tentu saja, jumlah mereka beratus-ratus banyaknya, mungkin sudah menjadi beribu-ribu sekarang ini, melihat banyaknya hal yang menakutkan yang terjadi…”

“Baiklah, baiklah,” potong Vernon Dursley. “Kami mengerti maksudmu…”

“Aku harap begitu,” kata Harry, “karena begitu aku berumur tujuh belas, semuanya –Pelahap Maut, Dementor, bahkan Inferi, yang merupakan mayat yang disihir oleh Sihir Hitam – dapat menemukanmu dan menyerangmu. Dan bila kau ingat saat terakhir kali engkau mencoba lari dari penyihir, aku yakin kau akan membutuhkan bantuan.”

Semuanya terdiam saat mereka mengingat suara dentuman saat Hagrid menghancurkan pintu kayu beberapa tahun lalu. Bibi Petunia melihat paman Vernon dan Dudley menatap Harry. Akhirnya paman Vernon berbicara, “Tapi bagaimana dengan pekerjaanku? Bagaimana dengan sekolah Dudley? Sepertinya hal itu tidak terpikirkan oleh penyihir seperti kalian…”

“Apa kalian tidak mengerti juga?” teriak Harry. “Mereka akan menyiksa dan membunuh kalian seperti mereka melakukannya pada orang tuaku!”

“Ayah,” kata Dudley dengan suara keras, “Ayah – aku akan ikut dengan orang-orang Orde.”

“Dudley,” kata Harry, “untuk pertama kalinya dalam hidupmu, kau mengatakan hal yang masuk akal.”Harry tahu bahwa ia telah memenangkan pertarungan. Bila Dudley cukup ketakutan
hingga ia menerima tawaran anggota Orde, orang tuanya akan menemaninya. Tidak mungkin mereka mau berpisah dengan Diddykins. Harry memerhatikan jam yang berada di atas perapian.

“Mereka akan tiba dalam lima menit,” katanya, dan saat tak seorang pun membalas ucapannya, ia meninggalkan ruangan. Kemungkinan untuk berpisah dari bibi, paman, dan sepupunya untuk selamanya, satu-satunya hal yang dapat membuatnya senang. Tapi tetap saja ada kemungkinan lain. Apa yang akan kau katakan pada orang yang kau benci selama enam belas tahun?

Di kamarnya, Harry menyeret ranselnya, lalu memasukkan kacang ke sangkar Hedwig. Kacang itu jatuh begitu saja ke dasar sangkar, tanpa dipedulikan Hedwig.“Kita akan segera berangkat, sebentar lagi,” Harry berkata padanya. “Dan kau dapat terbang.”

Bel pintu berbunyi. Harry ragu, namun ia tetap keluar dari kamar dan turun. Tidak mungkin Hestia dan Dedalus dapat menghadapi keluarga Dursley sendirian.“Harry Potter!” seru suara yang terdengar bersemangat, begitu Harry membuka pintu. Seorang pria kecil dengan topi ungunya langsung membungkukkan badannya. “Sebuah kehormatan!”

“Terima kasih, Dedalus,” kata Harry, ia tersenyum malu-malu pada Hestia. “Baik sekali kalian mau melakukan hal ini… Mereka orang-orang yang keras, bibi, paman, dan sepupuku…”

“Selamat sore, keluarga Harry Potter!” kata Dedalus riang, ia langsung berjalan masuk ke dalam ruang tamu. Keluarga Dursley tidak tampak gembira saat menemui mereka. Harry mengira pamannya akan mengubah pikirannya lagi. Dudley langsung menempel pada ibunya begitu melihat para penyihir itu.

“Aku melihat kalian sudah siap. Bagus! Rencananya seperti yang telah Harry katakan pada kalian,” kata Dedalus sambil memeriksa saku mantelnya. “Kita akan berangkat sebelum Harry. Karena Harry masih di bawah umur dan belum diizinkan untuk menggunakan sihir, hal ini akan memudahkan Kementrian untuk menangkapnya. Kita akan berkendara sejauh kurang lebih enam belas kilo sebelum kita bisa ber-Disapparate menuju tempat perlindungan. Kau tahu bagaimana cara mengemudi? Atau aku yang harus melakukannya?” ia bertanya dengan sopan pada paman Vernon.

“Tahu bagaimana cara…? Tentu saja aku tahu bagaimana cara mengemudi!” kata paman Vernon tersinggung.

“Pintar sekali Anda, sangat pintar, aku sendiri akan kebingungan dengan semua tombol dan kenop itu,” kata Dedalus. Jelas sekali Dedalus sedang mencoba menyanjung Vernon Dursley.“Tidak bisa mengemudi,” gumamnya marah membuat kumisnya bergerak-gerak. Untung saja Dedalus dan Hestia tidak memperhatikannya.

“Sedangkan Harry,” lanjut Dedalus, “akan menunggu para pengawal. Ada sedikit perubahan rencana…”

“Apa maksudmu?” kata Harry. “Bukankah Mad-Eye akan datang dan membawaku ber-Apparate?” “Tidak bisa,” jawab Hestia. “Mad-Eye akan menjelaskannya nanti.” Keluarga Dursley, yang mendengarkan pembicaraan yang tidak mereka mengerti, terkejut begitu mendengar suara yang berteriak keras “Cepat!” Harry menoleh mencari sumber suara itu sebelum akhirnya sadar bahwa suara itu berasal dari jam saku Dedalus.

“Benar juga, kita terburu waktu,” kata Dedalus, melihat jam sakunya dan memasukkanya lagi ke dalam saku mantelnya. “Kami usahakan agar engkau berangkat pada waktu yang bersamaan saat keluargamu ber-Apparate, karena perlindungan akan hilang begitu kau berangkat menuju tempat perlindungan.” Lalu ia berbicara pada keluarga Dursley,

“Sudah siap?” Tidak seorang pun menjawab. Bahkan paman Vernon masih menatap saku mantel Dedalus.

“Mungkin kita harus menunggu di luar, Dedalus,” bisik Hestia, yang mengira akan terjadi perpisahan penuh cinta dan air mata.

“Tidak perlu,” gumam Harry, dan paman Vernon juga tidak memberi penjelasan, dan langsung berkata, “Baiklah, saat untuk berpisah.”Ia menyodorkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Harry, tapi ia berubah pikiran di detik-detik terakhir, dan langsung mengepalkan tangannya dan menggerakkannya maju mundur seperti metronome.

“Siap, Diddy?” tanya Bibi Petunia, sambil memeriksa tasnya sekaligus menghindar untuk menatap Harry. Dudley tidak menjawab, tapi berdiri dengan mulut yang mulai membuka, mengingatkan Harry akan Grawp.

“Baiklah kalau begitu,” kata paman Vernon. Ia telah membuka pintu saat Dudley tiba-tiba bergumam, “Aku tidak mengerti.”

“Apa yang tidak kamu mengerti, Popkin?” tanya Bibi Petunia, melihat anaknya. Dudley mengangkat tangannya yang besar dan menunjuk Harry, “Mengapa dia tidak pergi bersama kita?” Paman Vernon dan Bibi Petunia berdiri membeku, memandangi Dudley heran, seakan
mereka mendengar kalau Dudley ingin menjadi balerina.

“Apa?” kata paman Vernon.

“Mengapa dia tidak ikut?” tanya Dudley.

“Dia… dia tidak ingin,” kata paman Vernon, menatap Harry lalu menambahkan, “Kau
tidak ingin, kan?”

“Tidak sedikit pun,” kata Harry.

“Baiklah kalau begitu,” paman Vernon berkata pada Dudley. “Sekarang, ayo berangkat.”
Ia berjalan keluar dari ruangan. Mereka mendengar pintu depan membuka, tapi Dudley
tidak bergerak bahkan Bibi Petunia ikut berhenti setelah mulai melangkah. “Sekarang apa lagi?” teriak paman Vernon, muncul dari pintu depan.

Sepertinya Dudley sedang berpikir dalam gagasannya yang nampaknya tidak mudah
diuraikan dalam kata-kata. Setelah beberapa saat kemudian, ia berkata, “Tapi, ke mana
dia akan pergi?”Bibi Petunia dan paman Vernon saling berpandangan. Jelas sekali Dudley telah membuat mereka takut. Hestia Jones memecah kesunyian.

“Tapi… kau tahu ke mana keponakanmu akan pergi, kan?” tanyanya, nampak
kebingungan. “Tentu saja kami tahu,” kata Vernon Dursley. “Dia akan pergi ke rumah salah satu temanmu, kan? Ayo, Dudley, masuk ke mobil, kau dengar dia tadi, kita terburu-buru.”
Lalu, Vernon Dursley berjalan keluar, tapi Dudley tidak mengikutinya.

Hestia tampak marah. Harry pernah mengalami hal ini, penyihir yang terpaku melihat
bahwa keluarga terdekatnya tidak memiliki ketertarikan atas Harry Potter yang begitu
terkenal.

“Tidak apa-apa,” Harry meyakinkan Hestia. “Bukan masalah besar.”

“Tidak apa-apa?” ulang Hestia, nada suaranya meninggi. “Apakah orang-orang itu tidak tahu apa saja yang telah kau alami? Apakah mereka tahu bahwa engkau sedang dalam bahaya? Apakah mereka tahu posisimu sebagai jantung dari gerakan anti-Voldemort?”

“Er… tidak, mereka tidak tahu,” kata Harry. “Mereka pikir aku hanya buang-buang waktu, tapi aku sudah terbiasa…”

“Kau tidak sedang buang-buang waktu.”

Bila Harry tidak melihat bibir Dudley yang bergerak, mungkin ia tak akan percaya. Ia menatap Dudley selama beberapa detik sebelum sadar bahwa sepupunya baru saja berbicara. Tiba-tiba muka Dudley berubah merah. Tiba-tiba Harry merasa malu dan terpesona.

“Yah… er… terima kasih, Dudley.” Lalu, Dudley nampak sibuk sendiri dengan pikirannya, lalu tiba-tiba menggumam, “Kau telah menyelamatkan nyawaku.”

“Tidak juga,” kata Harry. “Dementor mencoba menyedot jiwamu…”

Harry menatap sepupunya penuh dengan rasa ingin tahu. Selama musim panas ini dan musim panas lalu mereka tidak sekali pun saling berbicara, karena Harry memang selalu berada di kamarnya. Ini merupakan awal bagi Harry. Mungkin, cangkir teh tadi pagi bukan sekadar jebakan belaka. Walau merasa sedikit tersentuh, ia tetap saja merasa senang saat melihat Dudley berusaha setengah mati saat mengungkapkan perasaannya.

Setelah membuka mulutnya satu dua kali, Dudley memutuskan untuk tetap diam.Bibi Petunia tiba-tiba menangis. Hestia Jones yang awalnya tersentuh kembali marah saat Bibi Petunia datang dan memeluk Dudley, bukannya pada Harry.“Ma-manis sekali, Dudders…” isaknya di dada Duddley, “Su-sungguh anak baik… me - mengucapkan terima kasih…”

“Tapi dia tidak mengucapkan terima kasih sama sekali!” kata Hestia marah. “Dia hanya
bilang bahwa Harry tidak buang-buang waktu!”

“Yah, tapi bila itu berasal dari Dudley, itu bisa saja berarti “aku cinta padamu”,” kata Harry membuat Bibi Petunia antara merasa terganggu dan ingin tertawa. Bibi Petunia memeluk Dudley seakan ia baru saja menyelamatkan Harry dari gedung yang terbakar.

“Kita berangkat tidak?” teriak paman Vernon yang sudah muncul lagi di ruang tamu. “Aku kira kita punya sedang diburu waktu!”

“Ya, ya, tentu saja,” kata Dedalus Diggle yang sedang terkagum-kagum melihat apa yang
terjadi. Tapi ia memaksakan diri, “Kami harus berangkat, Harry…”

Dedalus melangkah maju dan menjabat tangan Harry dengan kedua tangannya.“… semoga beruntung. Semoga kita berjumpa lagi. Nasib dunia sihir berada di pundakmu.”

“Oh,” kata Harry “iya. Terima kasih.”

“Hati-hati Harry,” kata Hestia, yang juga menjabat tangannya. “Kami selalu bersamamu.”

“Semoga semuanya akan baik-baik saja,” kata Harry sambil memandang ke arah Bibi
Petunia dan Dudley.

“Oh, aku yakin kami akan baik-baik saja,” kata Diggle riang, melambaikan topinya saat
meninggalkan ruangan. Hestia mengikutinya.

Perlahan Dudley melepaskan diri dari pelukan ibunya dan berjalan mendekati Harry, lalu
menyodorkan tangannya yang besar.

“Ya ampun, Dudley,” kata Harry, “apakah Dementor mengubah kepribadianmu?” “Entahlah,” kata Dudley. “Sampai jumpa, Harry.”

“Yah…” kata Harry, yang kemudian menyambut tangan Dudley dan menjabatnya. “Mungkin. Hati-hati, Big D.”

Dudley tersenyum tipis, lalu berlalu meninggalkan ruangan. Harry dapat mendengar langkah beratnya menuju mobil, dan terdengar suara pintu ditutup. Bibi Petunia yang menutupi wajahnya dengan saputangan, tidak menyangka hanya ia yang tertinggal sendiri bersama Harry. Ia langsung memasukkan saputangannya yang basah ke dalam tas dan berkata, “Baiklah, sampai jumpa,” dan ia berjalan keluar tanpa mau melihat Harry.

“Sampai jumpa,” kata Harry.

Ia berhenti dan menoleh. Untuk beberapa saat Harry merasakan perasaan teraneh saat melihat bibinya menatap dirinya, wajah bibinya tampak aneh dan gemetar, dan tampaknya ia akan mengatakan sesuatu, tapi ia menggelengkan kepalanya dan segera meninggalkan ruangan mengikuti suami dan anaknya.

___________
end

harry potter . bab 2 buku 7 !

Chapter 2
In Memorandum
(Kenangan)


Harry terluka. Ia menggenggam tangan kanannya dengan tangan kirinya, menyumpah- nyumpah dalam bisikan. Ia membuka pintu kamar dengan bahunya. Terdengar suara pecahan perabot porselen, dan sebuah pecahan cangkir berisi teh dingin tergeletak di lantai depan pintu kamarnya. "Apa-apaan…?"

Ia melihat sekelilingnya, rumah nomor empat, Privet Drive yang sepi. Sepertinya ide cangkir teh ini adalah salah satu ide jebakan terbaik dari Dudley. Menjaga agar tangannya yang terluka tetap terangkat, Harry mengambil semua pecahan cangkir itu dengan tangannya yang lain, dan membuangnya ke tempat sampah di dekat pintu kamarnya. Lalu ia langsung ke kamar mandi untuk mencuci lukanya.

Sungguh benar-benar bodoh dan membosankan, bahwa ia harus menghabiskan empat minggu menahan diri untuk tidak menggunakan sihir… tapi ia merasa bahwa luka di jarinya dapat memaksanya untuk melakukan sihir. Sayangnya ia tak pernah belajar bagaimana mengobati luka, dan sekarang ia mulai berpikir bagaimana cara melakukannya. Ia berencana untuk menanyakan caranya pada Hermione, Sekarang ia menggunakan banyak tisu untuk membersihkan tumpahan tehnya sebelum ia kembali ke kamar dan membanting pintu kamarnya.

Harry menghabiskan pagi ini untuk mengosongkan koper yang selalu ia gunakan selama enam tahun terakhir. Pada tahun pertamanya, ia memenuhi kurang lebih tiga perempatnya lalu kadang mengganti atau menambahkan isinya tiap tahun, dan meninggalkan sisa-sisa di dasar koper – pena bulu lama, mata kumbang yang telah mengering, dan kaus kaki yang sudah tidak cukup lagi. Beberapa menit sebelumnya, Harry memasukkan tangannya ke dalam tumpukan itu, dan menghasilkan rasa sakit yang luar biasa dan pendarahan di keempat jari tangan.

Kini ia lebih berhati-hati. Ia berlutut di sebelah kopernya, ia meraba-raba dasar kopernya dan menemukan sebuah lencana tua yang berkedip-kedip antara DUKUNG CEDRIG DIGGORY dan POTTER BAU, Teropong Musuh rusak yang sudah tak bisa dipakai lagi, sebuah liontin emas dengan sebuah catatan dari R.A.B. di dalamnya, dan akhirnya ia menemukan apa yang melukai jarinya. Ia langsung mengenalinya. Sebuah pecahan cermin sepanjang lima senti pemberian bapak baptisnya, Sirius. Harry meletakkannya dan melanjutkan mencari peninggalan lain dari bapak baptisnya. Tapi yang tersisa hanya sisa pecahan cermin yang tersebar di dasar kopernya.

Harry duduk dan memerhatikan cermin yang telah melukai jarinya, yang dilihatnya hanyalah bayangan dari mata hijau cerahnya. Lalu ia meletakkan pecahan cermin itu di atas Daily Prophet terbitan hari ini, yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Butuh empat jam penuh untuk mengosongkan koper, membuang yang tidak perlu, memilih barang-barang apa yang akan kembali masuk ke dalam koper dan akan ia bawa. Jubah sekolah, jubah Quidditich, kuali, perkamen, pena bulu, buku sekolahnya, jelas ia akan meninggalkannya. Ia membayangkan apa yang akan dilakukan oleh paman dan bibinya, mungkin mereka akan membakarnya, menganggapnya seperti barang bukti kejahatan.

Baju Muggle, Jubah Gaib, bahan membuat ramuan, beberapa buku, album foto yang Hagrid berikan padanya, setumpuk surat, dan tongkatnya, dipaksa masuk ke dalam ransel tuanya. Di kantung depan, tersimpan Peta Perompak dan liontin dengan catatan dari R.A.B. di dalamnya. Liontin itu begitu penting karena begitu banyak hal terjadi dalam usaha untuk mendapatkannya. Setumpuk koran tergeletak di meja sebelah burung hantu peliharaannya, Hedwig, yang datang setiap hari selama Harry menghabiskan liburan musim panasnya di Privet Drive.

Harry berdiri, meregangkan otot-ototnya, dan berjalan menuju meja. Hedwig diam saja saat Harry mulai membuang koran-koran itu ke dalam tempat sampah. Burung hantu itu sedang tidur, atau berpura-pura tidur. Ia sedang marah pada Harry karena begitu jarang mengizinkannya keluar dari kandang.

Begitu tumpukan koran mulai menipis, Harry mencari satu edisi koran yang terbit saat ia baru tiba di Privet Drive. Ia ingat bahwa di halaman depan tercetak berita kecil tentang pengunduran diri Charity Burbage, guru Telaah Muggle di Hogwarts. Dan ia menemukannya. Ia membuka halaman sepuluh, ia duduk di kursinya dan mulai membaca ulang berita duka yang dicarinya.


MENGENANG ALBUS DUMBLEDORE
oleh Elphias Doge

Pertama kali aku bertemu dengan Albus Dumbledore adalah saat aku berusia sebelas tahun, di hari pertama kami di Hogwarts. Ketertarikan kami berawal saat kami diacuhkan oleh orang-orang. Aku baru saja terkena cacar naga sesaat sebelum masuk sekolah, walaupun sudah tak lagi menular, bekas cacar kehijauan itu membuat hanya sedikit orang berani mendekatiku. Sedangkan Albus, datang ke sekolah membawa nama buruk. Beberapa tahun sebelumnya, ayahnya, Percival, ditangkap karena telah menyerang tiga Muggle muda dengan kejam.

Albus tidak pernah mengelak bahwa ayahnya (yang meninggal di penjara Azkaban) telah berbuat kesalahan. Sebaliknya, saat aku memberanikan diri untuk bertanya, dia malah
meyakinkanku bahwa ayahnya benar-benar bersalah. Lalu, Dumbledore tidak akan melanjutkan ceritanya, tidak ingin membicarakan hal-hal sedih, katanya. Walaupun banyak orang yang mengungkit-ungkit hal tersebut. Beberapa di antaranya, memuji tindakan ayahnya, dan menganggap bahwa Albus juga seorang pembenci Muggle. Tapi mereka benar-benar keliru. Karena semua orang tahu bahwa Albus tidak pernah tertarik dengan gerakan anti-Muggle. Malahan dia sangat mendukung hak-hak Muggle, yang membuatnya memiliki banyak musuh dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam beberapa bulan, nama Albus mulai lebih dikenal daripada nama ayahnya. Di akhir tahun pertamanya, dia tak lagi dikenal sebagai anak dari seorang pembenci Muggle, namun lebih dikenal sebagai siswa paling cemerlang yang pernah ada di sekolah. Dan teman-temannya mendapatkan banyak keuntungan darinya, termasuk pertolongan dan dorongan semangat yang tulus darinya. Dan dia mengaku padaku bahwa dia menemukan kesenangan tersendiri saat mengajar.

Dia tidak hanya memenangkan semua hadiah yang sekolah pernah tawarkan, dia juga secara rutin berkoresponden dengan para penyihir hebat pada masanya, termasuk Nicolas Flamel, alkemis kenamaan, Bathilda Bagshot, sejarahwati terkemuka, dan Adalbert Waffling, ahli teori sihir. Beberapa esainya tiba-tiba dipublikasikan di Transfiguration Today, Challenges in Charming, dan Practical Potioneer. Karir masa depan Dumbledore sepertinya sudah terukir. Dan pertanyaan yang tersisa hanyalah kapan kira-kira dia akan menjadi Menteri Sihir. Walau sudah diprediksikan pekerjaan apa yang akan dia lakukan, dia tidak pernah berkeinginan untuk bekerja di Kementrian.

Tiga tahun setelah dia memulai sekolahnya, saudara Albus, Aberforth, tiba di sekolah. Mereka benar-benar tidak mirip. Aberforth bukanlah seorang kutu buku seperti Albus. Dia lebih memilih untuk menyelesaikan masalah dengan berduel daripada beradu argumen. Namun adalah kesalahan besar bila menganggap kakak beradik ini tidak saling bersahabat. Mereka berteman layaknya dua orang anak yang berbeda satu sama lain. Bagi Aberforth, tentu sulit terus hidup di bawah bayang-bayang Albus. Berusaha terus-menerus untuk menjadi lebih cemerlang, baik sebagai teman ataupun saudara. Saat Albus dan aku lulus dari Hogwarts, kami berencana untuk berkeliling dunia bersama, mengunjungi dan belajar dari penyihir lain, sebelum memulai karir masing-masing.

Akan tetapi, sebuah tragedi terjadi. Pada malam keberangkatan kami, ibu Albus, Kendra, meninggal, meninggalkan Albus sebagai kepala keluarga. Aku menunda keberangkatanku cukup lama untuk dapat menghadiri penguburan Kendra, dan melanjutkan perjalananku sendirian. Dengan adik-adik yang butuh diurus, dan hanya sedikit emas yang tersisa, tidak mungkin Albus bisa menemaniku. Dan itu adalah suatu masa di mana kami jarang saling menghubungi. Aku menulis pada Albus, keseluruhan perjalananku. Mulai dari bagaimanan aku berhasil lolos dari Chimaera di Yunani, hingga bereksperimen dengan alkemis dari Mesir. Suratnya kepadaku berisi tentang kesehariannya, yang menurutku tentu sangat membosankan untuk seorang penyihir sehebat dirinya. Terbenam sendiri dalam perjalananku, di tahun terakhir perjalananku, aku mendengar sebuah berita duka, yang menyatakan bahwa Dumbledore mengalami tragedi lain, kematian saudarinya, Ariana.

Walau Ariana memang sudah sakit-sakitan, kematiannya setelah kematian sang ibu, sungguh mempengaruhi kedua saudaranya. Semua orang yang dekat dengan Albus – dan aku menganggap diriku salah satu di antaranya – yakin bahwa Albus merasa bertanggung jawab atas kematian Ariana, walaupun tentu saja, dia tidak bersalah. Saat aku kembali, aku telah menemui seorang pria muda yang sudah mengalami banyak pengalaman layaknya pria berumur. Albus menjadi lebih berhati-hati dan periang dari sebelumnya. Dan sebagai tambahan untuk kesengsaraannya, hubungan dengan saudaranya Aberforth, mulai merenggang. Kemudian, dia mulai jarang membicarakan keluarganya, dan teman-temannya belajar untuk tidak mengungkitnya.

Cerita lain akan mengungkapkan keberhasilannya di tahun-tahun berikutnya. Kontribusi Dumbledore yang tak terhitung untuk pengetahuan, termasuk penemuannya atas dua belas fungsi dari darah naga yang memberi banyak keuntungan untuk generasi selanjutnya. Begitu pula kearifan yang ditunjukkannya dalam pengadilan saat dia menjadi Chief Warlock of Wizengamot. Banyak yang berkata bahwa tidak ada pertarungan yang dapat menandingi duel antara Dumbledore dengan Grindelwald di tahun 1945. Mereka yang menjadi saksi mata, menggambarkan bagaimana kedua penyihir luar biasa itu bertarung. Dan kemenangan Dumbledore, yang memengaruhi dunia sihir dan menjadi titik balik sejarah sihir, atas kejatuhan Dia-yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut.

Albus Dumbledore tidak pernah membanggakan diri atau menjadi sombong. Dia selalu menghargai tiap orang yang dia kenal, dan aku percaya bahwa semua tragedi yang
pernah dia alami membuatnya menjadi lebih memiliki rasa kemanusiaan dan lebih mudah bersimpati. Aku akan sangat merindukan persahabatan ini lebih dari yang bisa aku ungkapkan, namun rasa kehilangan ini tidak akan memengaruhi dunia sihir. Dia telah menjadi inspirasi dan merupakan Kepala Sekolah Hogwarts yang paling dicintai. Dia meninggal seperti saat ia hidup, bekerja dengan kemampuannya yang terbaik hingga saat-saat terakhirnya, sama seperti saat dia mengulurkan tangannya pada seorang anak yang terkena cacar naga, saat pertama aku pertama kali bertemu dengannya.


Harry selesai membaca, namun terus menatap gambar yang terpampang di sana. Dumbledore yang sedang tersenyum ramah, namun tatapan dari balik kacamata bulan separonya memberikan kesan, walau dalam koran, seakan menembus Harry dan merasakan kesedihan dan rasa malunya.

Harry merasa sudah sangat mengenal Dumbledore, namun sejak ia membaca berita ini, ia menyadari bahwa ia hampir tidak mengenal Dumbledore sama sekali, tak pernah sekali pun ia pernah membayangkan masa muda Dumbledore. Rasanya ia hanya muncul begitu saja seperti saat Harry mengenalnya – tua, berambut keperakan, dan baik hati. Gagasan atas Dumbledore saat remaja sungguh aneh, seperti membayangkan bagaimana bodohnya Hermione, atau seberapa ramah Skrewt-Ujung-Meletup.

Harry tidak pernah berpikir untuk menanyakan masa lalu Dumbledore. Ia yakin akan aneh dan kurang sopan. Namun, merupakan pengetahuan yang umum tentang pertarungan luar biasa antara Dumbledore dan Grindelwald, dan Harry tidak pernah bertanya bagaimana kejadiannya, atau semua pencapaiannya yang membuatnya terkenal. Tidak, mereka selalu berbicara tentang Harry – masa lalu Harry, masa depan Harry, rencana Harry, dan bagaimana Harry saat ini – memberitahu bahwa masa depan Harry begitu berbahaya dan tidak pasti. Namun ia melepaskan semua kesempatan untuk bertanya tentang Dumbledore. Bahkan pertanyaan pribadi yang pernah ia tanyakan pada kepala sekolahnya, mungkin tidak dijawab sungguh-sungguh oleh Dumbledore.

"Apa yang Anda lihat saat Anda melihat ke cermin?"

"Aku? Aku melihat diriku memegang sepasang kaus kaki wol tebal."

Setelah beberapa menit berpikir, Harry merobek berita itu, melipatnya hati-hati dan menyelipkannya ke dalam buku Pertahanan Sihir dan Penggunaannya untuk Melawan Ilmu Hitam. Lalu ia membuang sisa koran itu ke tempat sampah dan melihat kamarnya. Kamarnya jauh lebih rapi. Yang tersisa hanyalah Daily Prophet edisi hari ini, masih tergeletak di atas tempat tidur, yang di atasnya ada pecahan cermin.

Harry berjalan menuju tempat tidurnya, menggeser pecahan cermin dan membuka koran. Ia telah melihat tajuknya saat gulungan koran itu baru diantar oleh burung hantu, namun tidak ada berita tentang Voldemort. Harry yakin bahwa Kementrian telah menekan Prophet untuk tidak memberitakan Voldemort. Tapi sepertinya ada sesuatu yang ia lewatkan.

Di bagian tengah di halaman pertama, tajuk yang lebih kecil dengan potret Dumbledore berjalan gelisah.


DUMBLEDORE – KEBENARAN?
Minggu depan, cerita yang mengejutkan tentang penyihir jenius yang dianggap sebagai
penyihir terhebat pada masanya. Mematahkan imej seorang penyihir berjanggut
keperakan yang tenang dan bijaksana. Rita Skeeter mengungkapkan masa kanak-
kanaknya yang kurang menyenangkan, masa muda yang tidak mengenal hukum, dan
masa hidup yang penuh perseteruan, dan rahasia yang Dumbledore bawa hingga ke
liang kuburnya. MENGAPA seseorang yang dapat menjadi seorang Menteri Sihir hanya
menjadi kepala sekolah? APA tujuan sebenarnya dari organisasi rahasia yang diketahui
sebagai Orde Phoenix? BAGAIMANA Dumbledore meninggal?

Jawaban dari pertanyaan di atas dan banyak pertanyaan lain akan dibahas dalam
biografi 'Kehidupan dan Kebohongan Albus Dumbledore', yang ditulis oleh Rita Skeeter,
wawancara eksklusif bersama Betty Braithwaite, halaman 13.


Harry membuka korannya dan menemukan halaman tiga belas. Artikel itu berada di
bagian atas halaman dengan potret wajah yang sudah Harry kenal. Seorang wanita
dengan kacamata hias dan rambut pirang ikal, dengan senyum kemenangan yang
menunjukkan giginya yang berjajar rapi, menggelungkan jari-jarinya ke arahnya.
Berusaha untuk tidak peduli pada potret yang memuakkan itu, Harry mulai membaca.


Sebenarnya Rita Skeeter adalah pribadi yang hangat dan lembut bila dibandingkan dengan artikelnya yang ganas. Menyambutku di rumahnya yang nyaman. Dia langsung mengajakku ke dapur, menyeduhkanku secangkir teh, dan memberikan sepotong kue, dan pembicaraan tentang gosip terhangat pun mulai mengalir.

"Ya, tentu saja, Dumbledore adalah sebuah mimpi bagi penulis biografi," kata Skeeter. "Hidupnya yang panjang. Aku yakin bukuku adalah yang pertama karena akan banyak pula yang lain."

Skeeter bekerja cukup cepat. Buku setebal sembilan ratus halaman ini hanya ditulis dalam jangka waktu empat minggu setelah kematian misterius Dumbledore di bulan Juni. Aku bertanya padanya bagaimana dia bisa menyelesaikannya begitu cepat.

"Oh, bila engkau telah menjadi jurnalis seperti aku, bekerja dengan tenggat waktu yang pendek akan menjadi kebiasaan. Aku mengerti bahwa dunia sihir sangat menanti untuk
mengetahui cerita selengkapnya, dan aku ingin menjadi orang pertama yang memenuhi keinginan mereka."

Aku mengatakan padanya tentang komentar Elphias Doge, Special Advisor to the Wizengamot, yang merupakan teman lama Albus Dumbledore yang menyatakan bahwa "Fakta-fakta yang ditulis Skeeter, tidak lebih dari fakta yang tertulis di kartu Cokelat
Kodok."

Skeeter berpaling dan tertawa. "Dodgy sayang! Aku ingat saat aku mewawancarai dia beberapa tahun lalu tentang hak-hak para duyung, terberkatilah dia. Benar-benar konyol, sepertinya kami hanya duduk-duduk di dasar danau Windermere, dan dia terus mengingatkanku untuk berhati-hati dengan ikan trout."

Belum lagi tuduhan Elphias Doge atas ketidak-akuratan yang tersebar di mana-mana. Apakah Skeeter benar-benar merasa bahwa empat minggu merupakan waktu yang cukup untuk mengumpulkan data atas kehidupan Dumbledore yang panjang dan tidak biasa?

"Oh, sayang," kata Skeeter, mengingatkanku dengan penuh kasih, "kau sama tahunya dengan diriku, sebanyak apa informasi yang dapat kita kumpulkan dengan sekantung penuh Galleon, berkeras menolak kata ‘tidak’, dan sebuah Pena Bulu Kutip Kilat! Orang-orang mengantri untuk mendapat remah-remah dari Dumbledore. Tidak semua orang berpikir bahwa dia begitu hebat, kau tahu – dia suka cari masalah dengan banyak orang penting. Tapi si Dodge tua itu tidak bisa menyangkal karena aku telah mendapatkan sumber yang membuat tiap jurnalis mau menukarnya bahkan dengan tongkat mereka. Seseorang yang tidak pernah berbicara di depan publik sebelumnya dan begitu dekat dengan Dumbledore pada masa mudanya."

Biografi yang Skeeter tulis tentunya akan mengejutkan setiap orang yang percaya bahwa Dumbledore memiliki hidup bersih tanpa kesalahan. Apa rahasia yang paling mengejutkan yang engkau temukan, tanyaku.

"Cukup, Betty, aku tidak akan memberitahukan berita terhebat sebelum orang-orang membeli bukuku!" tawa Skeeter. "Tapi aku meyakinkanmu bahwa setiap orang yang percaya bahwa hidup Dumbledore seputih janggutnya akan sadar! Anggap saja orang-orang tidak tahu semarah apa dia, saat Kau-Tahu-Siapa tahu bahwa dia pernah menganut Ilmu Hitam pada masa mudanya! Ya, Albus Dumbledore memiliki masa lalu yang begitu kelam, belum lagi keluarganya yang mencurigakan, dimana dia selalu berusaha untuk menyembunyikannya."

Aku bertanya apakah yang Skeeter maksud adalah saudara Dumbledore, Aberforth, yang dinyatakan bersalah oleh Wizengamot atas skandal lima belas tahun lalu.

"Oh, Aberforth hanyalah bagian kecil," tawa Skeeter. "Tidak, tidak, aku berbicara tentang sesuatu yang lebih buruk dari kegemaran saudaranya yang suka bermain-main dengan kambing, lebih buruk ayahnya yang pembenci Muggle – Dumbledore tidak dapat meredamnya tentu saja, keduanya dianggap bersalah oleh Wizengamot. Bukan juga ibu dan saudarinya yang menggugah rasa ingin tahuku. Kalian harus membaca bab sembilan hingga dua belas agar tahu lebih lengkap. Dan tidak heran pula mengapa Dumbledore tidak pernah bercerita bagaimana hhidungnya patah."

Walaupun begitu, apakah Skeeter mengelak dari kecemerlangan Dumbledore yang membuatnya menghasilkan banyak penemuan?

"Dia memang pintar," akunya, "walaupun banyak pertanyaan yang muncul apakah hanya dia sendiri yang berhak atas segala penemuannya, seperti yang aku ungkapkan di bab enam belas. Ivor Dillonsby telah menyatakan bahwa dia telah menemukan delapan fungsi darah naga sebelum Dumbledore mempublikasikan esainya."

Tapi beberapa hal penting yang dilakukan Dumbledore tidak dapat dapat disangkal, kataku. Bagaimana dengan pertarungannya dengan Grindelwald?

"Oh, aku benar-benar senang akhirnya kau menanyakan hal itu," kata Skeeter dengan senyumnya yang menggoda. "Sepertinya kemenangan spektakuler Dumbledore pun tak lebih dari sekadar omong kosong. Jangan begitu yakin bahwa telah terjadi sebuah pertarungan hebat yang melegenda. Setelah engkau membaca bukuku, engkau akan tahu bahwa sebenarnya Grindelwald telah mengibarkan saputangan putihnya dan menyerah
begiru saja."

Skeeter menolak untuk memberi penjelasan lebih lanjut pada subjek yang menarik ini. Lalu kami melanjutkan pada sevuah hubungan yang akan membuat pembaca terkagum-kagum.

"Oh, ya," kata Skeeter, mengangguk dengan tenang, "aku mencurahkan satu bab penuh untuk membahas hubungan Potter-Dumbledore. Yang ternyata merupakan hubungan
yang tidak sehat, menakutkan bahkan. Sekali lagi, para pembaca harus membeli bukuku untuk mengetahui cerita lengkapnya. Walau Dumbledore tidak mengambil keuntungan dari hubungan yang aneh ini, malah si bocah yang mendapat semua keuntungannya. Dan ini juga membuktikan bahwa Potter memiliki masa remaja yang penuh masalah."

Aku bertanya apakah Skeeter masih berhubungan dengan Harry Potter, yang telah membuatnya begitu terkenal karena wawancara tahun lalu. Sebuah wawancara eksklusif dengan Potter tentang kembalinya Kau-Tahu-Siapa.

"Oh, ya, kami menjadi sangat dekat," kata Skeeter. "Potter yang malang hanya memiliki sedikit teman baik, dan kami bertemu pada saat terberat dalam masa hidupnya –Turnamen Triwizard. Mungkin aku satu-satunya orang yang masih hidup yang tahu siapa Harry Potter sebenarnya."

Hal ini membuat kami membicarakan tentang rumor yang beredar tentang detik-detik terakhir Dumbledore. Apakah Skeeter percaya bahwa Potter ada di dekat Dumbledore
saat kematiannya?

"Wah, aku tidak bisa berkata banyak – semuanya ada di buku – tapi saksi mata yang ada di Hogwarts melihat Potter berlari dari tempat kejadian sesaat setelah Dumbledore jatuh,melompat, atau didorong. Potter kemudian memberi keterangan melawan Severus Snape, seorang pria yang tentunya akan mendendam karenanya. Apakah semua yang kita lihat benar-benar seperti yang kita lihat? Itu yang harus ditentukan oleh para
komunitas sihir – setelah mereka membaca bukuku."

Aku mencatat dengan rasa ingin tahu yang mulai tumbuh. Dan tidak diragukan lagi bahwa buku Skeeter akan menjadi bestseller. Sementara para pengagum Dumbledore akan gemetar mengetahui siapa sebenarnya pahlawan mereka.


Harry telah membaca habis artikel itu, namun terus menatap kosong pada halaman itu. Rasa marahnya tiba-tiba memuncak dan membuatnya muak. Ia menutup koran itu dan melemparnya ke dinding, yang lalu terjatuh di sekitar tempat sampah bersama sampah
lain yang tak kebagian tempat karena tempat sampah yang terlalu penuh.

Harry mencoba menyibukkan diri, membuka laci kosong dan memasukkan buku-buku yang seharusnya berada di sana, lalu kata-kata Rita bermunculan di kepalanya satu bab penuh tentang hubungan Potter-Dumbledore… yang bisa dibilang tidak sehat, menakutkan bahkan… ia menganut Ilmu Hitam di masa mudanya… aku telah mendapatkan sumber yang dapat membuat setiap jurnalis mau menukarnya dengan tongkat mereka…

"Pembohong!" teriak Harry, dari jendela terlihat tetangganya yang berhenti memotong rumput karena kaget, dan melihatnya dengan gugup.

Harry duduk di tempat tidurnya. Pecahan cermin itu meluncur menjauh darinya, ia mengambilnya dan memainkannya dalam jari-jarinya. Ia berpikir, memikirkan Dumbledore dan semua kebohongan yang Rita Skeeter karang…

Sekilas terlihat biru terang. Harry membeku, jari-jarinya yang terluka memegangi ujung cermin yang tadi melukainya. Ia tidak berkhayal, hal itu benar-benar terjadi. Ia menoleh, namun yang terlihat hanya dinding berwarna krem pucat pilihan bibi Petunia, dan tidak ada yang berwarna biru yang bisa dipantulkan cermin itu. Ia melihat ke dalam cermin itu, tapi yang bisa ia lihat hanya bayangan mata hijaunya yang cerah.

Ia hanya berkhayal, hanya itu penjelasannya. Berkhayal, karena ia tengah memikirkan kematian kepala sekolahnya. Tapi bila itu benar terjadi, tadi adalah warna biru terang dari mata Albus Dumbledore.

___________
end

harry potter . bab 1 buku 7 !

Chapter Satu
The Dark Lord Ascending
(Kebangkitan Pangeran Kegelapan)


Dua orang itu muncul secara tiba-tiba, terpisah beberapa meter di sebuah jalan sempit yang diterangi oleh cahaya bulan. Sesaat mereka berdiri diam, tongkat masing-masing saling terarah ke dada yang lain. Setelah mengenali satu sama lain, mereka menyimpan tongkat masing-masing dibalik jubah dan mulai berjalan cepat ke arah yang sama.

"Bagaimana?" tanya orang yang paling tinggi dari keduanya.

"Sempurna," jawab Severus Snape.

Jalan kecil itu dikelilingi oleh semak liar yang rendah disebelah kiri, pagar tanaman yg tinggi dan terawat disebelah kanan. Jubah panjang mereka berkibar selagi mereka berjalan bersama.

"Kupikir aku akan terlambat," ujar Yaxley, tubuh lebarnya terlihat dan menghilang di bawah cahaya bulan yang terhalang dedaunan. "Sedikit lebih rumit dari yang kukira, tapi kuharap dia puas. Kedengarannya kau yakin bahwa sambutanmu akan bagus?"Snape hanya mengangguk tanpa memberikan penjelasan. Mereka berbelok ke kanan, ke arah jalan raya yang lebar yang menjadi ujung jalan kecil itu. Pagar tanaman tinggi yang mengelilingi mereka membelok di
kejauhan, di belakang pagar besi yang menghalangi jalan kedua lelaki itu.

Tidak satu pun dari mereka menghentikan langkah: dalam kesunyian keduanya mengangkat lengan kiri mereka dalam penghormatan lalu berjalan menembusnya, seakan pagar logam berwarna gelap itu hanyalah asap.

Pagar tanaman itu seakan meredam suara langkah kaki mereka. Terdengar sebuah
desikan di suatu tempat di sisi kanan mereka : Yaxley mengacungkan tongkatnya lagi, mengarahkannya melewati kepala kawannya, tapi sumber desikan itu ternyata hanyalah seekor burung merak putih yang berjalan dengan angkuh disepanjang puncak pagar tanaman itu. "Selalu berkecukupan, Lucius. Burung merak..." Yaxley memasukkan tongkat sihirnya dibalik jubah sambil mendengus.

Rumah bangsawan yang menawan itu terlihat dalam kegelapan di ujung jalan, cahaya berkilau dari jendela berpanel silang di lantai bawah. Di bagian kebun yang gelap, air mancur bergemericik. Kerikil berbunyi di bawah kaki mereka ketika Snape dan Yaxley mempercepat langkah mereka menuju pintu depan yang mengayun terbuka kedalam ketika mereka mendekat, meskipun tak ada yang membukanya.

Koridor yang mereka lewati berukuran lebar, cahayanya redup, dan dihiasi dengan indah, permadani mewah menutupi sebagian besar lantai batu. Mata beberapa lukisan berwajah pucat yang tergantung di dinding mengikuti Snape dan Yaxley selagi mereka lewat.

Langkah dua pria tersebut terhenti di depan pintu kayu besar yang menuju ruang berikutnya, dan berhenti sejenak untuk mengatur napas, lalu Snape memutar gagang pintu perunggu.

Ruang tamu dipenuhi orang-orang yang duduk membisu mengelilingi meja hias.
Perabotan yang biasanya menghias ruangan itu telah disingkirkan hingga merapat ke
dinding. Penerangan ruangan itu berasal dari perapian pualam indah yang disepuh kaca.

Snape dan Yaxley berdiri di ambang pintu. Setelah mata mereka terbiasa dengan cahaya yang redup, mereka melihat pemandangan yang sangat aneh: sosok manusia yang tak sadarkan diri tergantung aneh; terbalik; jauh diatas meja, sesuatu berputar pelan seperti digerakkan suatu benang yang tidak terlihat, dan bayangannya terpantul cermin di atas permukaan meja yang mengilat. Tidak seorang pun yang melihat ke atas, kecuali pemuda berparas pucat yang duduk hampir tepat di bawahnya. Sepertinya dia tidak mampu menahan diri untuk melihat ke atas tiap menit.

"Yaxley. Snape," terdengar suara jelas bernada tinggi dari ujung meja. "Kalian hampir
terlambat."

Sosok yang berbicara duduk tepat di depan perapian, membuat kedua orang itu hanya bisa melihat siluetnya. Saat mereka mendekat, terlihat wajah bersinar dalam kegelapan, tidak memiliki rambut, seperti ular, dengan celah lubang hidung, dan pupil matanya berwarna merah vertikal. Wajahnya pucat seolah-olah memancarkan cahaya seputih mutiara.

"Severus, kemari," Voldemort menunjuk tempat duduk yang berada tepat disebelah
kanannya. "Yaxley- kau disamping Dolohov."

Dua laki- laki itu mengambil tempat yang disediakan untuk mereka. Setiap mata disekitar meja memandang Snape, dan kepadanyalah Voldemort memulai pembicaraan.

"Jadi?"

"Tuanku, Orde Phoenix berniat memindahkan Harry Potter dari tempat perlindungan yang selama ini ditempatinya, sabtu depan, menjelang malam."

Ketertarikan di sekitar meja memuncak: Beberapa terdiam, yang lain gelisah, semua
menatap ke arah Snape dan Voldemort.

"Sabtu... menjelang malam," ulang Voldemort. Mata merahnya menatap mata Snape yang hitam dan mampu membuat beberapa orang memalingkan wajah, mereka terlihat ketakutan seakan-akan mereka akan dibakar oleh keganasan tatapan itu. Snape, meskipun begitu, balas menatap Voldemort dengan santai, dan beberapa saat kemudian, mulut tanpa bibir Voldemort melekuk membentuk senyuman.

"Bagus. Bagus sekali. Dan informasi ini datangnya - "

" - dari sumber yang pernah kita bicarakan," kata Snape.

"Tuanku." Yaxley memajukan tubuhnya ke depan meja, sehingga dia dapat melihat Voldemort dan Snape. Semua wajah mengarah padanya.

"Tuanku, berita yang kudengar berbeda."

Yaxley menunggu, tetapi Voldemort tidak berbicara, lalu dia melanjutkan, "Dawlish,
salah satu Auror, mengatakan bahwa Potter tidak akan dipindahkan sampai tanggal tiga puluh, malam sebelum dia berusia tujuh belas."

Snape tersenyum. "Sumberku mengatakan ada rencana palsu untuk menipu kita, rencana itulah yang pasti palsu. Tidak diragukan lagi, Dawlish terkena Mantra Confundus. Ini bukan pertama kalinya; dia dikenal karena kepekaannya."

"Aku jamin, Tuanku. Dawlish tampak sangat yakin," kata Yaxley.

"Jika dia berada dalam kutukan Confundus, tentu saja dia terlihat sangat yakin," kata
Snape. "Kuberitahukan padamu, Yaxley, kantor Auror tidak lagi ikut campur masalah
perlindungan Harry Potter. Orde tahuu bahwa kita telah menyusup ke dalam
Kementerian."

"Akhirnya Orde benar kali ini, eh?" kata pria bungkuk yang duduk tidak jauh dari
Yaxley; dia mengeluarkan tawa aneh yang diikuti tawa lain di sekitar meja.

Tetapi Voldemort tidak tertawa. Tatapannya terarah ke atas pada tubuh yang berputar pelan, dan dia terlihat tenggelam dalam pikirannya.

"Tuanku," Yaxley meneruskan, "Dawlish yakin sekelompok Auror akan dipakai dalam pemindahan anak itu -"

Voldemort mengangkat tangannya putihnya yang panjang, dan Yaxley terdiam, menatap kecewa ketika Voldemort berpaling lagi pada Snape.

"Dimana anak itu akan disembunyikan nantinya?"

"Disalah satu rumah milik anggota Orde," kata Snape. "Tempatnya, menurut sumber,
telah dilindungi dengan semua perlindungan yang dapat diberikan Orde dan
Kementerian. Kurasa hanya ada sedikit kemungkinan bagi kita untuk membawanya dari sana, Tuanku, kecuali Kementerian berhasil kita kuasai sebelum sabtu depan,
memberikan kita kesempatan untuk menemukan dan menghapus semua mantra yang ada di tempat itu."

"Baiklah, Yaxley?" Voldemort menatap ke arah meja, nyala api berkilat aneh di matanya, "Akankah Kementerian kita kuasai Sabtu depan?"

Sekali lagi, semua kepala beralih, Yaxley mencondongkan bahunya. "Tuanku, aku mempunyai berita bagus mengenai hal itu. Aku berhasil - dengan beberapa
kesulitan rupanya, dan usaha yang maksimal - memantrai Pius Thickneese dengan
kutukan Imperius."

Beberapa orang yang duduk di sekitar Yaxley tampak terkesan, seseorang di sampingnya, Dolohov, pria berwajah panjang dan berkerut, menepuk punggung Yaxley.

"Awal yang bagus," kata Voldemort. "Tapi Thicknesse seorang tidaklah cukup.
Scrimgeour harus dikelilingi oleh orang orang kita sebelum kita beraksi. Satu kesalahan dalam pengambilan nyawa Kementerian akan membuatku kembali menempuh jalan yang panjang."

"Ya - Tuanku, itu benar - tetapi kau tahu, sebagai Kepala Departemen Pelaksanaan
Hukum Sihir, Thicknesse tidak hanya memiliki kontak dengan Menteri Sihir, tetapi juga dengan semua kepala departemen di Kementerian. Hal itu, kupikir, akan menjadi mudah karena pejabat tinggi berada di bawah kendali kita, dan mereka akan mempengaruhi yang lain, mereka akan bekerja sama untuk menjatuhkan Scrimgeour."

"Selama teman kita Thicknesse tidak ketahuan sebelum dia mempengaruhi yang lain," kata Voldemort. "Bagaimanapun juga, Kementerian akan menjadi milikku sebelum sabtu depan. Jika kita tidak bisa menyentuh anak itu di tempat tujuannya, maka kita harus melakukannya saat dia sedang dalam perjalanannya."

“Kita memiliki keuntungan, Tuanku,” kata Yaxley, yang tampak meminta dukungan.
"Sekarang kita memiliki beberapa orang di Departemen Transportasi Sihir. Jika Potter ber–Apparate atau menggunakan jaringan Floo, kita akan segera tahu di mana dia berada.”

“Dia tidak akan melakukannya,” kata Snape. "Orde tidak akan menggunakan segala
bentuk transportasi yang dikontrol dan diatur oleh Kementerian; mereka tidak
mempercayai apapun yang dikerjakan Kementerian.”

"Akan lebih baik,” kata Voldemort. ”Dia akan dipindahkan secara terbuka. Lebih mudah untuk ditangkap, pasti!”

Sekali lagi Voldemort mendongak dan melihat tubuh yang terus berputar pelan selagi dia bicara. ”Aku akan mengurus anak itu sendirian. Terlalu banyak kesalahan yang
melibatkan Harry Potter. Sebagian kesalahan tersebut akulah yang membuatnya. Potter selamat akibat kesalahanku dan bukan karena keberhasilannya.”

Sekelompok penyihir di sekitar meja memperhatikan Voldemort dengan penuh kekhawatiran, beberapa dari mereka, terlihat dari ekspresi mereka, merasa takut mereka bisa saja disalahkan karena keberadaan Harry Potter yang masih ada sampai saat ini. Bagaimanapun, ucapan Voldemort sepertinya lebih ditujukan untuk dirinya sendiri daripada kepada sekelompok orang di ruangan itu, pandangannya masih tertuju pada sosok yang tak sadarkan diri di atasnya.

“Aku telah ceroboh, dan tentu saja dihalangi oleh kesempatan dan keberuntungan, semua rencana yang kulakukan hanya menghasilkan rencana kosong yang tidak tercapai. Tapi sekarang aku tahu sesuatu yang lebih baik. Aku mengerti beberapa hal yang tidak ku mengerti sebelumnya. Jika ada orang yang harus membunuh Harry Potter, orang itu adalah aku.”

Ketika Voldemort mengucapkan kata-kata tersebut, terdengar sesuatu seperti tanggapan atas perkataan itu, terdengar suara ratapan, dan berlanjut suara tangisan kesengsaraan dan kesakitan. Beberapa orang melihat terkejut sambil melihat ke bawah meja, karena suara tersebut seakan-akan berasal dari kaki mereka sendiri.

"Wormtail," kata Voldemort, tanpa perubahan dalam ketenangan suaranya, dan tanpa mengalihkan pandangan dari sosok tubuh yang berputar diatasnya, "Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk membuat tawanan kita tetap diam?"

“Ya, T- Tuanku,” sahut penyihir kecil yang duduk begitu rendah di kursinya, orang-orang meliriknya, dan kemudian mengabaikannya. Dia bangkit dari tempat duduknya lalu berlalu cepat dari ruangan itu tanpa meninggalkan apapun kecuali kilauan benda perak.

“Seperti yang telah kusampaikan,” lanjut Voldemort, sambil melihat wajah tegang para pengikutnya, "Aku lebih mengerti kali ini. Saat ini juga aku harus meminjam tongkat salah satu dari kalian sebelum aku membunuh Potter.”

Semua wajah menunjukkan keterkejutan yang luar biasa; seakan Voldemort memberitahu mereka bahwa dia ingin meminjam salah satu lengan mereka.

"Tidak ada sukarelawan?" kata Voldemort. "Kalau begitu... Lucius, aku tidak melihat
alasan bahwa kau masih memerlukan tongkatmu."

Lucius Malfoy mengangkat kepalanya. Kulitnya terlihat kekuningan dan seperti lilin
dalam cahaya api, dan matanya cekung serta berbayang. Saat dia berbicara, suaranya
terdengar parau.

"Tuan?"

"Tongkatmu, Lucius. Aku ingin tongkatmu."

"Aku..."

Malfoy melirik istrinya yang duduk di sampingnya. Istrinya menatap ke depan, wajahnya sama pucatnya seperti suaminya, rambut pirangnya yang panjang tergerai di bahunya, namun tersembunyi di bawah meja, jari-jari kurusnya memegang erat tangan Lucius.

Dengan sentuhannya, Malfoy menarik tongkat yang terselip dijubahnya dan
menyerahkannya pada Voldemort yang mengangkat tongkat itu, mata merahnya
memperhatikan tongkat itu dengan seksama.

“Apa jenis kayunya?”

"Elm, Tuanku," bisik Malfoy.

"Dan intinya?"

"Naga - Serabut hati naga."

“Bagus,” kata Voldemort. Dia menarik tongkatnya sendiri dan membandingkan ukuran panjangnya. Lucius Malfoy membuat gerakan tak disengaja; sekejap kemudian, dia tampak berharap menerima tongkat milik Voldemort untuk ditukar dengan miliknya. Gerakan itu terlihat oleh Voldemort, matanya melebar penuh kedengkian.

"Kau pikir aku akan memberikan tongkatku, Lucius? Tongkatku?"

Beberapa orang terkikik.

“Aku telah memberikan kau kebebasan, Lucius, apa itu tidak cukup untukmu? Dan dari apa yang kuperhatikan, kau dan keluargamu tampak tidak bahagia akhir-akhir ini. Apakah kehadiranku di rumahmu sangat mengganggumu, Lucius?”

“Tidak – Tidak sama sekali, Tuanku!”

“Kau berbohong Lucius … “

Terdengar suara mendesis yang bahkan membuat mulut kejam tersebut berhenti bergerak. Satu atau dua penyihir menunjukkan rasa takut saat desisan tersebut terdengar lebih keras; sesuatu yang berat terdengar sedang berjalan di bawah meja.

Seekor ular besar muncul dan memanjat perlahan menuju kursi Voldemort. Ular itu terus berjalan naik dan melingkar pada bahu Voldemort. Tebal leher ular itu sama dengan paha manusia, matanya dengan pupil celah vertikal, tidak bekedip. Voldemort menyentuh pelan makhluk tersebut dengan jarinya yang kurus dan panjang, matanya masih menatap Lucius Malfoy.

"Menapa keluarga Malfoy terlihat tidak bahagia dengan keadaan mereka saat ini? Apakah dengan kembalinya aku, kebangkitanku untuk menguasai dunia bukan hal yang mereka inginkan beberapa tahun terakhir ini?”

“Tentu, Tuanku,” kata Lucius Malfoy. Tangannya bergetar saat dia menghapus keringatdi atas bibirnya. “Kami menginginkannya – Sangat.”
Di sisi kiri Malfoy, istrinya bergerak aneh, mengangguk kaku, matanya teralih dari
Voldemort ke ularnya. Di kanannya, anaknya Draco, yang tengah menatap tubuh yang tidak berdaya di atas, melirik sekilas pada Voldemort dan langsung berpaling, dia terlalu takut melakukan kontak mata dengan Voldemort.

“Tuanku,” kata seorang wanita berkulit gelap di pinggir meja barisan tengah, suaranya penuh dengan emosi, "Suatu kehormatan Anda berada di sini, di keluarga kami. Tidak ada kehormatan yang lebih baik daripada ini semua."

Dia duduk di sebelah saudarinya, dan tidak memiliki kemiripan dengan saudarinya,
rambutnya gelap dan pelupuk matanya tebal, dia terlihat sangat tegas dan rendah diri di hadapan Voldemort, sedangkan Narcissa duduk diam dan kaku. Bellatrix memajukan dirinya ke depan meja, tidak ada yang bisa menjelaskan kerinduannya untuk lebih mendekat.

"Tidak ada kehormatan yang melebihi ini," ulang Voldemort, kepalanya dimiringkan ke arah lain seolah dia menilai Bellatrix. “Aku menganggapnya sebuah persetujuan,
Bellatrix, darimu.”

Wajahnya seketika berwarna; air mata kebahagiaan mengalir dari matanya.

"Tuanku tahu aku mengatakan kebenaran."

"Tidak ada kehormatan yang melebihi ini... bahkan jika dibandingkan dengan pesta besar, yang kudengar berlangsung di kediaman keluargamu minggu ini?”

Mata Bellatrix terbelalak, bibirnya membuka, dan dia terlihat kebingungan. “Saya tidak mengerti maksud anda, Tuanku.”

“Aku membicarakan keponakanmu, Bellatrix. Dan tentunya keponakan kalian juga,
Lucius dan Narcissa. Dia baru menikah dengan si manusia serigala, Remus Lupin. Kalian pasti merasa bangga.”

Terdengar tawa mencemooh di sekitar meja. Beberapa wajah maju ke depan untuk
memperlihatkan sirat kegembiraan; yang lain memukul meja dengan tinju mereka. Ular besar, yang membenci keributan, membuka mulutnya lebar dan mendesis marah, tetapi para Pelahap Maut tidak mendengarnya, mereka menikmati penghinaan yang ditujukan pada Bellatrix dan keluarga Malfoy.

Wajah Bellatrix, yang berseri gembira, seketika berubah seakan-akan ditumbuhi bisul jelek dan merah.

“Dia bukan keponakan kami, Tuanku,” dia menangis saat yang lain terlihat gembira.

“Kami – Narcissa dan aku – tidak pernah berhubungan dengan saudara kami sejak dia menikah dengan si darah lumpur. Anak itu tidak punya hubungan apapun dengan kami berdua, begitu juga binatang buas yang dia nikahi.”

“Bagaimana denganmu, Draco?” tanya Voldemort, suara pelannya mampu menyaingi ledekan dan cemohoohan. “Apakah kau akan merawat anaknya itu?”
Kegembiraan memuncak, Draco Malfoy menatap ngeri pada ayahnya, yang hanya
menunduk melihat kakinya sendiri, lalu beralih menatap ibunya. dia menggelengkan
kepalanya nyaris tak terlihat, dan kembali menatap lurus ke arah dinding yang
berlawanan.

“Cukup,” kata Voldemort, menepuk ular yang marah. “Cukup.”

Dan tawapun langsung berhenti.

“Kebanyakan generasi sejak generasi tertua kita semakin lama semakin terinfeksi,” dia berbicara saat Bellatrix menatapnya, sambil menahan napas dan memohon, "Kau harus menjaga generasi keluargamu, tetap menjaganya sehat dengan memotong komponen yang mengancam kemakmurannya."

"Ya Tuanku," bisik Bellatrix, dan sekali lagi matanya dipenuhi air mata terimakasih.
"Dikesempatan pertama!"

“Kau harus melakukannya,” kata Voldemort. "Di keluarga kalian, juga didunia... kita
akan membuang penyakit yang menginfeksi kita sampai hanya mereka yang berdarah murni yang tersisa...”

Voldemort mengangkat tongkat Lucius Malfoy, mengarahkannya langsung pada sosok yang berputar pelan yang terikat terbalik di atas meja, dan memberinya sedikit jentikkan. Sosok itu mulai sadar dengan rintihan dan mulai berusaha melepaskan ikatan tak terlihat yang mengikatnya.

"Apa kau mengenali tamu kita, Severus?” tanya Voldemort.

Snape mendongak dan melihat pada wajah kacau balau yang terikat terbalik itu. Semua Pelahap Maut menatap tawanan itu, seolah mereka diberi izin untuk memperlihatkan keingintahuan mereka. Saat wanita itu berputar menghadap perapian, wanita itu mengeluarkan suara ketakutan dan gemetar, “Severus! Tolong aku!”

“Ah, ya,” kata Snape ketika tawanan itu berputar pelan sekali lagi.

“Dan kau, Draco?” tanya Voldemort, menepuk pelan moncong ular itu dengan
tongkatnya. Draco menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Saat wanita itu kembali
terbangun, Draco tidak mampu melihatnya lagi.

"Kau tidak perlu mengambil kelasnya," kata Voldemort. "Bagi kalian yang belum tahu, kita kedatangan seseorang untuk bergabung dengan kita malam ini, Charity Burbage yang, sampai beberapa waktu yang lalu, mengajar di sekolah Sihir Hogwarts.”

Terdengar bisikan kecil yang penuh dengan pemahaman. Di atasnya, gigi wanita tersebut bergemelutuk.

“Ya … Professor Burbage mengajar para penyihir muda tentang Muggle... bahwa mereka tidak berbeda dari kita... “

Salah satu Pelahap Maut meludah ke lantai. Charity Burbage berputar menatap Snape sekali lagi.

"Severus... kumohon... tolong..."

"Diam," kata Voldemort, menjentikkan tongkat Malfoy, dan Charity langsung terdiam. "Merasa kurang dengan mengotori dan merusak pikiran para penyihir muda, minggu lalu Profesor Burbage menulis ketertarikan pada Darah Lumpur di Daily Prophet. Dia berkata, penyihir harus menerima pengetahuan dan sihir dari para pencuri tersebut. Berkurangnya darah murni, Profesor Burbage berkata, adalah keadaan yang sangat penting... Dia ingin kita semua berteman dengan Muggle... atau, tidak diragukan lagi, manusia serigala..."

Tak ada seorangpun yang tertawa kali ini. Ada kemarahan dan penghinaan dalam suaraVoldemort. Untuk ketiga kalinya, Charity Burbage berputar menatap wajah Snape. Air mata mengalir dari matanya dan membasahi rambutnya. Snape balas menatapnya, terlihat tenang, setenang putaran Charity yang menjauh dari pandangannya.

“Avada Kedavra!”

Kilatan sinar hijau menerangi setiap sudut ruangan. Charity jatuh, bedebam keras, jatuh ke atas meja, yang bergetar dan retak. Beberapa Pelahap Maut terlonjak dari kursi mereka. Draco jatuh ke lantai.

“Makan malam, Nagini,” kata Voldemort dengan dingin, dan ular besar itu berjalan turun dari bahunya ke lantai yang mengkilap.

_________
end